Search

Kisah Pasutri Tunanetra sebagai Pedagang Sayur Keliling - Jawa Pos Radar Malang (Sindiran) (Siaran Pers) (Berlangganan) (Blog)

NURLAYLA RATRI

Anda yang tinggal di Kelurahan Dinoyo dan Kelurahan Merjosari, barangkali tak asing dengan pasutri ini. Setiap hari biasanya selepas Duhur, mereka berkeliling ke sejumlah ruas jalan di kawasan Dinoyo-Merjosari.

Mulai kawasan sekitar Taman Singha Merjosari hingga seputaran Universitas Brawijaya (UB). Setiap kali berjualan, mereka biasa membawa serta dua anak yang masih kecil.

Ketika mendorong gerobak, mereka tak seperti pedagang sayur keliling pada umumnya. Sebab, langkah mereka, pun demikian laju dari gerobak itu nyaris tak pernah teratur. Kadang serong ke kanan, kadang serong ke kiri.

Pasutri pendorong gerobak sayur itu adalah Cuklik Elvirawati dan suaminya Sandi yang sama-sama memiliki penglihatan tak sempurna. Untuk Sandi, dia sejak lahir sebagai penyandang tunanetra.

Sementara Cuklik sebenarnya terlahir sempurna. Namun, ketika masih kanak-kanak, dia mengalami demam tinggi. Demam yang tidak tertangani dengan baik itu membuat mata kanannya tak bisa berfungsi.

Alhasil, selama bertahun-tahun, Cuklik hanya mengandalkan mata kirinya. Itu pun selama sepuluh tahun belakangan ini penglihatan mata kirinya melemah karena katarak. ”Karena itulah, kalau kami keliling, ya dibantu anak-anak,” ujar perempuan 43 tahun tersebut.

Si sulung, Dimas Setiawan, yang masih berumur 6 tahun, serta Alif Saputra (3 tahun), menjadi mata bagi Cuklik dan Sandi. Dua bocah itulah yang menjadi penunjuk arah bagi Cuklik maupun Sandi. ”Mereka juga mengingatkan kalau ada lubang maupun ada mobil yang melintas,” katanya.

Jika sudah capek, Cuklik dan keluarganya biasa berhenti di halaman sebuah toko modern, Jalan Mertojoyo. ”Sebenarnya, kami terbiasa berjalan jauh. Cuma, kasihan anak-anak. Kalau capek, mereka kami letakkan di dalam gerobak, tidur di dalam,” terang perempuan kelahiran 28 April 1974 tersebut.

Sulung dari tiga bersaudara itu mengungkapkan, dia dan suaminya sudah lima tahun ini menjadi pedagang sayur keliling. ”Awalnya saya dan suami jadi pemijat di salah satu yayasan. Karena kebutuhan makin banyak, terutama setelah ada anak-anak, kami memutuskan keluar,” ujarnya.

Meski harus berjalan tertatih-tatih, Cuklik tetap bersemangat. Cuklik merasa apa yang dia dan suaminya lakukan ini jauh lebih baik daripada harus meminta-minta.

Cuklik dan Sandi tak pernah berpikir untuk menjadi pengemis. Pikiran itu bahkan tak muncul, sekalipun mereka sempat terlilit utang beberapa waktu lalu.

Ya, belum lama ini, Cuklik kesulitan untuk membayar utang sebesar Rp 700 ribu ke sebuah kelompok koperasi. Dia terpaksa berutang demi menyekolahkan putra sulungnya. ”Tapi, Alhamdulillah, ada rezeki yang datang. Beberapa orang dermawan memberi bantuan,” ujarnya.

Meski bersyukur mendapatkan bantuan, Cuklik dan Sandi sebenarnya merasa tidak enak. ”Kami lebih senang kalau orang-orang beli dagangan kami. Merasa dihargai saja, bukan dikasihani,” ujar Sandi, suami Cuklik.

Selama berjualan, pasutri ini banyak memiliki pelanggan dari kalangan mahasiswa yang indekos di sekitar Dinoyo dan Merjosari. Bahkan, ketika sedang ramai pembeli, mereka meminta kepada pelanggannya untuk mengambil sendiri uang kembalian dari dompetnya.

Apa tidak takut diakali? ”Walau kami tidak bisa melihat, tapi Allah Maha melihat,” terang pria 40 tahun tersebut.

Hanya, pada suatu ketika, Sandi sempat ragu saat ada pembeli yang membayar dengan uang pecahan Rp 50 ribu. Dia merasa, tekstur permukaan itu berbeda ketika diraba. Tidak seperti uang pecahan Rp 50 ribu yang biasa dia pegang.

”Saya pasrah saja. Kalau uang palsu ya nggak apa-apa, mungkin belum rezeki. Tapi, saat saya bawa untuk kulakan, diberi tahu kalau uangnya asli, Alhamdulillah,” tutur Sandi yang belakangan tahu bahwa uang itu adalah pecahan rupiah baru tahun emisi 2016.

Sandi menyatakan, setiap dua atau tiga hari sekali, dia kulakan di Pasar Dinoyo. Beberapa bahan seperti buah-buahan dan sayur langsung dijual. Sementara barang mentah seperti kerupuk, rengginang, dan ketela, dia serahkan ke orang tua Cuklik, Sriamah dan Rofi’i, untuk diolah. ”Bahan-bahan itu digoreng dan dibungkusi. Lalu juga bikin takjil selama Ramadan. Ya, selisihnya lumayan,” terang pria asal Bojonegoro tersebut.

Sandi menceritakan perkenalan dengan Cuklik sekitar 2010 lalu. Mereka bertemu di salah satu kegiatan pemberdayaan tunanetra di Sawojajar.

Merasa ada ketertarikan, Sandi mengungkapkan niatnya untuk menjalin hubungan serius dengan Cuklik. ”Dia minta langsung nikah. Setelah saya balik ke Bojonegoro, satu minggu kemudian saya lamar,” terang Sandi yang tinggal bersama keluarganya di sebuah rumah kontrakan, Jalan MT Haryono Gang VIC Nomor 831 ini.

Ketika memutuskan untuk menikah, Sandi menyadari bahwa kehidupan keluarga mereka bakal berat. Tapi, Sandi tak ingin menyerah pada keadaan.

Prinsip untuk tidak meminta-minta sebisa mungkin terus dipegang. ”Saya tak ingin menjadi orang tak berguna. Saya punya anak dan istri, mereka tanggung jawab saya. InsyaAllah, kalau berusaha, pasti Allah akan membantu,” tuturnya. (*/c2/muf)

Let's block ads! (Why?)


Baca Kelanjutan Kisah Pasutri Tunanetra sebagai Pedagang Sayur Keliling - Jawa Pos Radar Malang (Sindiran) (Siaran Pers) (Berlangganan) (Blog) : http://ift.tt/2rHv0II

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Kisah Pasutri Tunanetra sebagai Pedagang Sayur Keliling - Jawa Pos Radar Malang (Sindiran) (Siaran Pers) (Berlangganan) (Blog)"

Post a Comment

Powered by Blogger.